Senin, 25 Januari 2010

Kenapa harus ber-Teater?

Banyak budayawan yang meyakini bahwa salah satu penyebab berkurangnya budi pekerti pada anak didik bahkan orangtua akhir-akhir ini adalah karena kurang mengenal budayanya sendiri.

Teater sebagai produk kebudayaan, pada hakikatnya memang mengajarkan tentang “drama kehidupan” manusia. Sesuatu yang menyentuh sifat asasi manusia. Bila melirik sejarah, pada mulanya, sebagian besar Teater Tradisional di Indonesia, merupakan bagian dari suatu upacara keagamaan atau upacara adat. Pada upacara tersebut, dapat kita temukan apa yang kita namakan “peristiwa teater” sebagai pendukung upacara.

Bentuk wujudnya merupakan unsur-unsur teater, apakah itu berupa : gerak-gerak pendukung ataupun berupa “paduan suara” persembahan, “doa” ataupun “mantra-mantra”, tetapi menyatu dengan upacara yang sedang berlangsung. Kemudian pada perkembangannya, teater tidak hanya sebagai bentuk katarsis, melainkan juga sebagai industri kreatif yang menghibur.

Dalam kurikulum pendidikan nasional, kita jumpai kurikulum seni drama/teater. Hanya saja, kurikulum atau pendidikan tersebut bersifat teori tanpa praktek. Kalaupun ada praktek, bersifat asal jadi saja. Ini dikarenakan kualitas guru yang tidak kapabel dalam mengajar teater. Keluhan ini banyak didapatkan di hampir semua sekolah. Guru-guru kesenian dengan terpaksa harus mengajar teater, sebuah ilmu yang tidak mereka kuasai.

Pendidikan dengan pola SANGGAR/ESKUL, adalah pilihan yang tepat untuk siswa agar mendapatkan ilmu teater secara komprehensif. Pola praktek langsung di lapangan disertai teori yang disampaikan secara bertahap. Sistem Sanggar/Eskul ini sangat efektif untuk belajar teater sekaligus juga budi pekerti dan kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar